RIJALUL ANSOR BAWANG

BLOGE WONG ANSOR BAWANG

Senin, 08 Juli 2013

PENGHARGAAN TOLERANSI DI INDONESIA

Toleran berarti bersikap menenggang, menghargai pendapat orang lain. Toleransi adalahsifat atau sikap toleran. Kita sudah sepakat bahwa negeri kita negeri yang majemuk (plural), sehingga pluralisme sudah menyatu dengan keseharian kita. Dan itu sudah sejak dari "sononya" karena memang soal itu berasal dari otoritas taqdir Yang Maha Kuasa. Tak ada yang ikut campur atas proses keberagaman Indonesia. Konsekuensinya, mereka yang mengaku bangsa Indonesia masing-masing harus memiliki sikap toleran, tasamuh dan lapang dada diantara kita. Iniliah kunci yang pertama agar perbedaan itu bisa berbuah menjadi rahmat, bukan sebailknya.
Namun seiring datangnya arus reformasi dan kebebasan, sikap dan perilaku bangsa ini ikut berubah. Sikap santun dan ramah tamah, mau menghargai orang lain, berubah menjadi orang yang mudah marah sekalipun karena alasan yang sepele. Bahkan sebagian ada yang menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Yang paling mencolok adalah ketika seseorang mengingatkan orang lain -termasuk pemerintah- yang dinilai melakukan kekeliruan, maka itu sering dilakukan dengan cara menghujat dan mengumpat. Pertanyaannya, apakah sudah tak ada tempat bagi etika dan moral dalam kehidupan berbagngsa dan bernegara? Bukankah mereka semua itu saudara kita sendiri, satu bangsa, satu "nation". Apakah tak ada cara lain yang lebih bermartabat?
Contoh kongkrit lainnya adalah ketika orang yang tidak setuju Presiden SBY menerima penghargaan dari luar negeri sebagai Negarawan Dunia 2013. Mereka mendesak agar SBY menolak penghargaan itu. Nampaknya lucu. Orang mau diberi hadiah kok disuruh menolak. Agak memaksa lagi. Mestinya desakan itu bukan dialamatkan kepada Presiden SBY, tetapi kepada Yayasan ACF. Jadi bukan yang mau diberi penghargaan yang dimarahi. Inilah penghargaan toleransi yang  diciderai oleh sikap intoleran bangsanya sendiri. Sungguh memalukan. Karena disana ada kesan seperti memaksakan kehendak. Padahal langkah yang dilakukan ACF pasti sudah melalui penelitian dan pertimbangan matang. Dan para Pengurus Yayasan ACF pasti bukan orang-orang yang bodoh.
Sebagai bangsa Indonesia seharusnya ikut bangga. Bangga lantaran presidennya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mendapat penghargaan sebagai negarawan Dunia 2013 (World Statesman Award) dari Appeat of Conclence Foundation (ACF). Penganugerahan award itu dilakukan oleh Rabi dari ACF di New York pada 30 Mei yang lalu. Alasannya sesuai penjelasan Rabi dari ACF karena SBY dinilai sukses mengembangakan perdamaian, toleransi, dan resolusi konflik. Penghargaan itu sekaligus merupakan pengakuan dunia internasional atas wujud pelaksanaan toleransi di Indonesia. Penghargaan serupa tahun lalu disematkan kepada PM Kanada Stephen Harper, dan Presiden Korea Selatan Lee Myungbak pada 2011, serta Presiden India Manmohan Slingh pada 2010.
Di bulan Ramadan ini siapapun akan bisa melihat secara kasat mata bagaimana praktik toleransi di Indonesia. Saat umat Muslim di bulan Puasa tengah meremajakan mesin-mesin di tubuhnya dengan menunaikan kewajiban agamanya berpuasa sebulan penuh, penganut agama lain menghormatinya dengan tulus. Mereka rela merubah kebiasaan makan, minum di siang hari di tempat tertutup. Tradisi silaturrahim saling kunjung mengunjungi di hari Lebaran Idul Fitri pun sudah berjalan lama tanpa ada persoalan. Barangkali pihak ACF melihat secara global toleransi yang berjalan bak dari 230 juta rakyat Indonesia, tanpa meremehkan kasus Syi'ah Sampang, Cikeling Bekasi, dan Yasmin Bogor. Cuma kenapa mereka tak mau membandingkan dengan toleransi di negara Prancis, Swiss dan Swedia. Toleransi di Indnesia masih lebih baik dari letiga negara Eropa tersebut.
Di negeri ini memang belum sepenuhnya berkembang sikap kemasyarakatan moderat (Tawassuth), toleran (tasamuh), dan seimbang (tawazun), serta musyawarah/dialog (tasyawur). Kita yakin hanya sikap kemasyarakatn seperti itulah yang mampu mengimplementasikan ajaran Islam rahmatan lil'alamin. Dan 230 juta rakyat Indonesia mayoritas Muslim. Maka mereka  mereka yang advokat, pengamat politik dan sosial, pegiat HAM pasti banyak muslim dan muslimat dan tentu berpuasa di bulan suci ini. Kita berharap laku puasa akan merubah sikap mereka karena mengharapkan maghfiroh dari Allah SWT. Sehingga sekalipun atas nama kebebasan tetap akan mengedepankan sikap tawadhuk (rendah hati) tidak arogan, sikap kasih sayang (marhamah) bukan menghujat, dan berkata atau menulis yang baik yang tidak menyakiti yang lain. Rasa kebersamaan kunci wujud toleransi.
Begitu juga dengan perbedaan awal bulan Ramadan dan Syawal (1 Ramadlan dan 1 Syawal)  juga teramsuk bentuk dari sikap toleransi yang baik, jangan karena perbedaan penetapan tanggal saja dijadikan perpecahan antar sesama umat Islam. Perbedaan adalah rahmat, bukan laknat.
Semoga Allah SWT menerima ibadah puasa kita. Puasa yang berkualitas yang mampu merubah segala sikap kasar dan madzmumah (tercela) menjadi mahmudah (terpuji). Sehingga mampu menghadirkan kehidupan yang sejahtera, tenteram tenang, saling menghormati sehingga berbuah berkah dan maghfirah yang melimpah dari Allah SWT. hanya merasa senang saja dengan tibanya bulan Ramadlan Allah mengharamkan jasadnya terkena percikan api neraka. Apalagi bila kita memperbanyak amal dan sadaqah, salat tarawih, tadarus Al-Qur'an, pasti lebih besar lagi pahalanya.

diambil dari majalah Rindang Juli 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More